I Can Love You in the Dark.

壽
7 min readJan 21, 2024

--

Kadangkala saat sepi menyergap, pikiran jahat akan berlabuh di kepalamu tanpa izin. Dan sepi bukan berarti menyendiri. Sepi hadir bahkan di keramaian yang bergemuruh. Saat mulut-mulut menyipratkan ludah mereka yang tengah berbicara, hingga kerongkongan kering dibuatnya.

Dua tangan bersentuhan tapi tidak bertaut. Bukannya tidak ingin, tapi sama-sama takut untuk saling menggenggam.

Mie kenyal di hadapan mereka bentuknya megar, licin, dan begitu menggugah selera. Mangkuk yang satu berkuah kari, sedangkan di seberangnya berkuah bening. Mungkin Miso. Meski tampilannya yang gembul menggoda siapapun yang melihatnya, dua anak Adam yang duduk di belakangnya malah saling menatap dengan senyum simpul.

Mereka memilih untuk duduk di pojok restoran, agak jauh jangkauannya dari orang-orang. Sekarang ini bukan waktu jam makan, makanya restoran ala Jepang itu tidak begitu ramai pembeli.

Ya tapi sebenarnya, memang pusat perbelanjaan itu sangat sepi, sih.

Sengaja.

Untuk memperkecil kemungkinan keduanya bertemu dengan orang-orang yang mereka kenal. Lokasi gedung yang berada di pinggir kota dan pemeliharaannya yang sedikit abai justru membuat keduanya merasa aman. Setidaknya, orang-orang yang mereka kenal dan mengenali mereka tidak akan sudi menginjakkan kaki di ‘tempat murah’ seperti ini.

Di gedung empat lantai ini hanya ada bioskop yang sepi, kios-kios kecil yang sepi, franchise brand besar yang tak kalah sepi, beberapa pengunjung, dan Renjun yang kini tengah duduk berhadapan dengan Jeno. Lelah tersenyum keduanya mulai menyantap udon yang sedari tadi menunggu hingga kedinginan. Padahal pendingin di mall itu nampaknya butuh diservis.

“Punya aku enak nih, Jen. Sayang banget udah agak dingin.” Ucap Renjun setelah sekali menyuapkan udon ke mulutnya.

“Punyaku juga enak, Ren. Tapi emang udah dingin juga sih.” Jeno berucap lantas terkekeh kecil, “Kayaknya kita terlalu banyak omong deh tadi.”

Renjun tersenyum simpul sebagai respon atas ucapan teman baiknya itu. Ia melanjutkan makannya dalam diam, tak sekalipun memberi tatapan kepada pria yang tengah menyantap makanannya juga. Padahal mata Jeno sudah melirik Renjun dengan penuh minat.

Diam keduanya, sama-sama tak ingin mengganggu ketenangan diantaranya. Keadaannya masih sama. Renjun enggan melirik Jeno, sedangkan mata Jeno jelalatan memberi hati kepada Renjun.

Jeno selesai makan terlebih dahulu. Matanya masih terus menunggu netra Renjun untuk menatapnya kembali. Tapi itu tidak terjadi hingga Renjun menyelesaikan hidangannya.

“Abis ini kita mau kemana, Ren?” Tanya Jeno sembari mengulurkan tangannya, memberi Renjun tisu untuk mengelap wajahnya yang sedikit belepotan.

Inginnya Jeno tangannya sendiri yang bergerak untuk membersihkan sudut bibir Renjun. Biar ibu jarinya yang menyentuh kulit pria kecintaannya. Tapi Renjun akan murka. Renjun akan berpikir sedikit lagi mereka harus saling meregang cinta. Renjun takut untuk membuka cinta keduanya. Lantas karena ia cinta dengan Renjun, ia urungkan niatnya itu. Dan begini lebih baik daripada tidak mencinta sama sekali.

Mata Renjun melirik atap seakan-akan ada skrip yang muncul dari sana. Renjun tengah berpikir, “Pulang?”

Dengan tak sadar Jeno berdecak kesal, “Seriously? Kita bahkan baru ngobrol sedikit lho?”

“Lho? Tadi kamu bilang kita terlalu banyak omong? Plin-plan kamu!” Dengan senyum jahilnya Renjun memberi Jeno sedikit kebahagiaan. Serius deh, Jeno akan benar-benar sedih kalau mereka harus pulang sekarang.

Pria itu benar-benar ingin seperti sekarang ini, berbincang tanpa bersandiwara ‘gue-lo’ sebagaimana mereka berbincang di depan orang lain.

“Kalau nonton gimana?”

Alis Renjun mengernyit, “Emang ada film horror apa? Seingatku kita udah nonton semua film horror bulan ini sama Abang kamu.”

Jeno memutar bola matanya jengah. Ah, pria kesayangannya ini memang betul-betul menjengkelkan (terkadang). Bagaimana bisa Renjun menyebut pria lain saat bersama dirinya?

“Emang Abang pengganggu.” Keluh Jeno begitu kesalnya. Bibirnya mengerucut, monyong. Renjun yang menatapnya tersenyum gemas. Sikapnya yang seperti puppy ini benar-benar membuat Renjun jatuh.

I fucking love you, Puppy.” Cicit Renjun, berbisik agar tidak ada yang mendengar perasaannya. Though his action speaks louder.

Mata jeno menyipit sabit, senang mendapat ungkapan cinta dari yang terkasih, “And I fucking love you too, Baobei.

Keduanya lagi-lagi hanya diam menikmati senyuman satu sama lain. Entah apa yang mereka dapatkan dari senyum itu.

“Kita nonton aja, yuk.” Jeno memecah keheningan diantara mereka, “Aku tahu film yang lebih horror dari film manapun yang pernah kita tonton.”

“Oh, iya kah? Film barat?” Tanya Renjun dengan wajah penasarannya yang menggemaskan. Tolong tahan Jeno untuk tidak mengecup pipi tembamnya itu! “Beneran ada?”

Badan Jeno agak dicondongkan kedepan, “Ada, sayang.” Hati-hati Renjun, bola matamu bisa saja loncat jika kamu melotot seperti itu.

“Jangan ya, Jeno.”

Mana tega Jeno ketika melihat wajah Renjun yang pucat seperti ingin menangis itu. Meskipun keinginannya untuk mencintai Renjun tanpa harus bersembunyi begitu besar, ia begitu mencintai Renjun hingga pilihan sebesar ini pun ia serahkan kepada kekasih hatinya.

“Maaf, Ren.” Ucap Jeno sarat akan rasa bersalah, namun terdengar tulus, “Jadi mau nonton?”

Renjun menatap Jeno kesal, “Kamu aja belum kasih tahu film apa, aneh!”

Ah, kalau di dunia ini hanya ada mereka berdua, habis pipi Renjun dikecupinya. Mungkin ia akan menggigitnya sedikit. Sampai Renjun akan tersungut-sungut dibuatnya.

Monster.”

Mata Renjun terbelalak, sedikit terkejut. Namun setelahnya ia terkekeh miris, “Well, you’re not wrong. It is indeed the scariest movie ever.

“Oh, jadi kamu udah tau film itu?” Renjun mengangguk antusias, “Ayo nonton kalau gitu! Mumpung masih ada di bioskop ini.”

Senyum Renjun tidak memudar. Tapi Jeno tahu bahwa Renjun tidak menyukai idenya ini. Entah darimana kesimpulan itu diambil, Jeno hanya tahu. Akan keraguan dan kebencian Renjun pada usulnya.

Dengan tegas dan dingin, Renjun menggeleng, “No, thanks. That movie might make us uncomfortable. Hits too close to home, Jen. Remember to just play it safe.

Benar kata Renjun. Bermain seperti itu pasti akan membebani. Itu akan mengundang masalah untuk datang menimpa mereka berdua. Dan Jeno tidak mau itu. Maka Jeno mengangguk sedikit canggung sebagai persetujuan atas pernyataan Renjun.

Hening kembali mengitari mereka. Restoran mulai menyepi, lebih sepi dari sebelumnya. Hanya dua laki-laki itu yang tersisa, beserta pekerja restoran itu. Renjun melamun, Jeno mengamati wajah Renjun yang begitu ayu. Tampan tentu saja, tapi juga cantik dan menghangatkan.

Sedangkan Renjun yang menyadari itu sejujurnya ingin menatap paras Jeno yang indahnya bak pahatan dewa, menurutnya. Tapi matanya tak sanggup untuk hanya sekadar mengagumi itu.

Inginnya Renjun menyelami wajah itu dengan kecupan manisnya, memberi hangat pada kening, ujung hidung yang tegas, rahang yang begitu kokoh, dan sudut bibir milik Jeno. Mungkin melabuhkan satu kecupan di bawah matanya juga, tepat dimana setitik hitam yang membuat wajah Jeno begitu tampan berada. Tapi ia tidak mampu, tidak rela jika untuk melakukannya akan membuatnya kehilangan Jeno. Dan begini lebih baik daripada tidak mencinta sama sekali.

“Ren, aku boleh nanya?” Lagi-lagi Jeno yang memecah keheningan keduanya. Renjun hanya mengangguk ragu sebagai jawaban, “Why won’t you let us be boyfriends?

Helaan napas Renjun terdengar begitu berat. Mata Renjun hanya tertuju pada satu arah yang tidak dapat dipastikan pada titik mana.

“Sepenting itu ya status buat kamu?” Kali ini Jeno yang mengangguk, “Meskipun aku udah berkali-kali ungkapin perasaan aku?”

Kali ini helaan napas Jeno yang terdengar berat, “Ibaratkan aja kita sebagai dua tali. Cuma sekadar di tempat yang sama gak mungkin bikin kita selamanya bareng-bareng. Gimana kalau kamu diambil? Atau aku diambil? Gimana, Ren?”

“Aku gak tahu, Jeno.” Suasana yang tadinya manis menjadi mendung karena pertanyaan Jeno, “Ruang kita itu terlalu sempit, Jen. One wrong move, everything will fall apart. Aku sanggup untuk nahan diri untuk gak show you off. But I can’t afford to lose you, Jeno. And I can’t let you lose me either. Never. Aku minta maaf kalau aku cuma pecundang.”

Rasanya Jeno melunak. Hatinya seperti dibelai oleh Renjun. Meski bukan itu yang ia ingin dengar, tapi ucapan Renjun membuatnya sedikit lega. Bahwa Renjun tidak ingin melepaskannya, dan tidak ingin dilepas olehnya.

I’m sorry, Baobei.

You don’t have to.

Dari tempatnya duduk, Jeno sadar bahwa mata Renjun lebih basah dari sebelumnya. Mata Renjun menatap mata Jeno mencari apa yang tersimpan di dalamnya. Yang ia temukan hanya kenyamanan dan keamanan. Mata Jeno yang tajam nan intimidatif, yang dulu membuatnya ketakutan, kini bak atap dan dinding yang membuatnya hangat ditengah kemelut badai.

Lantas air matanya luruh tak tertahan. Dengan sigap ia hapus jejaknya agar tidak ada orang lain yang melihatnya. Jeno melihatnya dengan jelas, tapi Jeno bukan orang lain, jadi tak apa-apa. Anehnya, Jeno malah terkekeh kecil melihat kesayangannya menitikkan air mata.

If I were a girl, I would’ve kiss you here and now. Jadi pacarku, ya? We can always pretend like we’re not in love or whatever in front of anyone else. Just please, let me be yours, Ren.”

Renjun ikut terkekeh mendengar penuturan Jeno. Ini benar-benar Jeno sekali. Agak memaksa dengan halus. Perlahan tapi pasti. Pasti membuatnya lebih yakin. Pria itu seorang peri cinta, sepertinya.

Entah kenapa, Jeno rasanya ingin menangis juga, “Gosh, Renjun. Kalau kamu takut untuk bilang iya karena pandangan orang lain ketika kamu jalan sama laki-laki, I can be your girl. I’ll wear a dress for you. I will learn to do makeup. I will, Renjun, I will. Or should I do it the next time we’re going out?

Penuturan Jeno membuat Renjun tertawa. Tertawa penuh ironi tentunya, “Terus ototmu dan badan kamu yang kekar itu mau diumpetin dimana, Jen?”

Dengan tawa, Jeno mengusap matanya yang basah, “First of all, banyak cewek yang tubuhnya kekar dan ototnya kebentuk kayak pake cetakan, alias bagus banget. Tapi kalau kamu gak suka sama cewek berotot, aku bisa pake lengan panjang sama gaun yang gombrong biar gak kecetak.”

Kali ini Renjun tertawa sungguhan. Pria favoritnya itu lucu sekali saat begitu serius mendalami topik ini.

Saat netra keduanya bertemu, tawa mereka tergelak. Berat sedihnya perbincangan ini seakan melebur bersamaan dengan bahagia yang menguar dari belah bibir keduanya. Renjun dengan keberaniannya menatap Jeno hangat, pun dengan Jeno yang tak melepas pandangannya dari Renjun yang paling ia sayangi.

If you were a girl, I won’t ever fall for you.”

Hangat hati Jeno dibuatnya. Renjun loves him the way he is, and it’s the same the other way around.

Setidaknya, meski tidak bisa mencinta di hadapan dunia, di depan cermin mereka bisa berpadu kasih. Di kesempitan seperti ini, dunia tidak merenggut kebebasan siapapun. Dunia memberi kesempatan kepada penghuninya untuk memahami apa-apa yang di sekitarnya lebih dalam. Untuk Renjun dan Jeno, cinta dalam kungkungan moral yang begitu gelap — perlu mereka maknai jauh dari sekadar kata ingin.

Inginnya mereka berdua memang untuk bercinta tanpa pakaian yang menyesakkan. Untuk menunjukkan dunia bahwa cinta yang mereka miliki itu sama indahnya. Tapi daripada harus saling kehilangan, akan lebih membahagiakan jika saling memiliki tanpa adanya mata, telinga, dan restu yang memberkati. Dan begini lebih baik daripada tidak mencinta sama sekali.

--

--